Hai....
Setelah kena writer's block selama beberapa hari, Nabila berhasil menyelesaikan
cerpen terbaru Nabila
*Yeay.... :D
Judul : 290
Cerpen ini menceritakan kondisi bumi di tahun 2090 yang rusak. Jika kita terus menerus melakukan kerusakan pada bumi, bisa bisa......
Ah udah deh, baca aja ya... ^^
Aku membuka
buku digital dihadapan ku. Aku menoleh ke ventilasi kecil di dinding. “Apa yang
kau tunggu ? bacalah !” kata kata itu mengejutkan ku. Aku cepat cepat membaca
buku referensi itu. Ruangan sempit ini adalah kelasku. Perlu kujelaskan kawan,
sejak kondisi alam mulai kritis, semua menjadi indoor . Aku jarang bertemu
kawan kawan sekolahku. Kami ‘di kurung ‘ di ruangan sempit ini. Didalamnya, ada
sebuah computer dan layar yang membuat guru kelasku dapat mengawasiku. Juga
beberapa alat bantu pernafasan. Di zaman seperti ini, sulit sekali mendapatkan
udara bersih. Adapun itu amat mahal. Awan gelap kelabu menurunkan hujan coklat,
suaranya bergemuruh di atap. Mengganggu konsentrasiku. Hujan asam seringkali
terjadi. Beberapa sungai airnya menyusut. Polusi udara menyebar. Wabah Kolera,
Diare, dan sebagainya mewabah dimana mana. Mengerikan ? Aku melalui nya setiap
hari dalam hidupku, Tak asing lagi bagi tubuhku, Kehidupan ini seakan selalu
mengalir begitu saja . Sesekali, kutatap wajah Miss Irine di layar, sinar
matanya meredup. Selesai membaca buku referensi itu, aku beranjak pulang.
Melewati lorong lorong gelap yang dibanjiri dengan air dari hujan asam. Aku
tinggal di salah satu rumah sehat yang tersisa. Rumah sempit bersekat lima,
berjendela delapan, berpintu dua dan berhalaman 4 kali 4. Begitu saja, dengan
ruang tamu yang digabung dengan ruangan keluarga jadilah rumah sehat masa kini.
Namun yang menjadi masalah, semua rumah sehat sekarang tidak memiliki pasokan
air bersih sama sekali. Sayuran, daging dan bahan makanan lainya amat langka.
Aku memperepat langkahku di antara derap hujan asam. Payung yang ku gunakan
sebentar lagi tak akan mampu melindungiku. Sesampainya di rumah, senyap
menyertaiku. Ibu masih memasak dan Ayah berkerja, kedua kakak ku masih menjejali
tahun pertama di perguruan tinggi. Mempelajari hewan hewan purba, masalahnya,
saat ini, hampir semua hewan telah punah.Ibu menyeringai tipis melihat wajah
kusutku. “Sudah pulang ? ambilah jatah makan mu hari ini, di almari ada
sesendok air bersih “ ujar Ibu sambil membenarkan celemek yang beliau gunakan.
Aku melangkah dingin. Mengambil makanan kaleng yang entah dari apa. Lalu
menikmati acara televisi yang pernah ku tonton beratus ratus kali. Membosankan memang, tapi setidaknya televise
tua itu menyelamatkan ku dari kebosanan.Dua jam, tiga jam waktu berlalu. Hujan
berangsur angsur berhenti. Awan memang masih gelap kelabu. Namun setidaknya
hujan asam itu telah berhenti.Aku meminum sesendok air bersih yang diletakan
ibu di gelas. Sesendok saja, dan aku akan merasa baikan.Aku melirik ke jendela
kaca yang tertutup rapat, sesekali Ayah mengganti jendela itu dengan yang baru.
Aku menyandarkan bahu ke sofa. Pintu terbuka, muncul wajah suram kedua kakak
ku. Mereka telat pulang karena terjebak dalam hujan asam. Ibu selalu melarang
kami melewati hujan asam tanpa pelindung. Aku membuka pintu kamar kami yang
dijadikan satu. Karena keempat ruangan lainya digunakan untuk dapur, kamar
mandi, ruang keluarga dan ruang kerja ayah. Tempat berbagai macam alat yang
para ilmuan gunakan. Kamar yang berisi sebuah kasur besar, sebuah almari baju,
meja gosokan dan meja belajar. Kubuka buku digital yang kupinjam dari sekolah.
“Hanna, oh disitulah kamu, ayo, makan malam siap “ ujar Ibu lembut. Malam
menjelang. Lampu menerangi tempat aku, dan kedua kakakku belajar. Aku belajar
di kasur sedang mereka belajar di lantai. Angin membuka jendela kamar. Aku
menutupnya. Di luar, hujan turun deras sekali. Ayah pergi ke ruang kerja dan
Ibu menemani kami belajar. Aku meluruskan kaki, waktu belajar telah habis. Aku
membenarkan bantal, lalu segera tidur, sebelum insomnia akut-ku kambuh.
Hari hari
berlalu dengan cepat, tak terasa, aku telah lulus dari sekolah dasar. Dunia pun
makin kelam. Hujan asam, makin sering mengguyur. Air bersih semakin langka dan
jiwaku makin terganggu. Mala mini, kami berkumpul di ruang makan, menikmati sup
berisi sebuah seledri dan empat bawang hmm, begitu enak. Ibu menatapku yang
dengan cepat menghabiskan makan malam. Beliau menghela nafas, selesai makan,
aku cepat cepta tidur dan menunggu hari pagi. Sinar matahari menyusup masuk
sedikit diantara awan hitam yang menggumpal. Aku memandang ke jendela dengan
hati hati, agar semua tak bangun. Aku memandang sekeliling. Suasana begitu
pengap, sekalipun ini pagi. Asap kendaraan dan pabrik mengepul ngepul bersamaan
dengan aroma yang menyengat. Kulihat Ibu
tak ada, pasti beliau sedang menyiapkan makan. Aku mengikat piyama dan berjalan
ke dapur. “Apa menu hari ini ?” tanyaku tak sabar, Namun ku melihat ibu
memasukan bahan bahan sup dengan sedih. “Sintetis “ gumamnya. Aku menghela
nafas panjang, rasanya kemarin aku baru saja menikmati seledri. “Kini sayuran
betul betul langka Han, “ kata Ibu. Aku mengamati asap yang mengepul dari
kompor listrik. Sama kelamnya dengan langit. Petir menyambar, aku terkejut dan
melihat apa yang terjadi. Hujan asam, itu biasa namun aku tak menyukainya.
Cepat cepat kubangunkan kedua kakakku dan mengajak mereka ke ambang jendela.
“Ya ampun, “ gumamku. Ayah berdiri di belakang kami, beliau tampak berpikir,
tapi sesaat kemudian ayah berlari ke ruang kerja nya. Aku duduk di sofa
menunggu makan pagi. Kejadian pagi ini memang terlalu dini, seperti apa yang
terjadi pada dunia. Tikus tikus menceriit. Aku tak percaya mereka masih ada.
Kedua kakakku bermain catur di meja makan. Sesekali petir berbunyi. Namun aku
tak peduli. Lagipula kami aman di sini. Ibu membawa sup sintetis yang berbau
menyengat. “Makanlah, hanya ini yang tersisa “ kata Ibu sambil tersenyum getir.
Kritis, semua kritis, pasukan air bersih, makanan sehat, udara bersih dan
barang barang pokok lainya. TV kunyalakan, walaupun acaranya hanya itu itu
saja. Aku mendesah bosan. Hujan berangsur reda. Aku memakai sepatu boot ku dan
berjalan keluar. Mencari cari sisa rerumputan, tapi tak ada, gersang, gersang
se gersangnya. Hanya jalan raya yang sudah lama tak digunakan. Harusnya lahan
itu dibuat penangkaran tanaman atau hewan. Kulangkahkan kaki ke perpustakaan
kota. Mencari buku yang berisi jenis jenis bunga, aku terkesiama. Betapa
indahnya kehidupan dulu, bulan bersinar terang, burung berkicau. Sekarang ?
bahkan matahari tak mampu menembus awan hitam. Jane, penjaga perpustakaan
mendekatiku. Aku segera bertanya “ Apakah masih ada buku seperti ini ?” Jane
menghela nafas. “Maaf Hanna, tapi hanya
itu yang tersisa. Pihak museum telah mengambil buku buku tentang bunga bunga
itu “ tutur Jane. Aku mengangguk mengerti lalu pergi ke sekolah. Memasukan
kartu ke dalam ruangan dan masuk ke dalamnya. Aku menghirup, oksigen sedalam
mungkin. Miss Erna duduk di hadapanku. Beliau membawa setumpuk tugas. Aku
mengerjakannya dengan sedikit malas. Mengingat pihak museum telah mengambil
buku buku itu. Namun ada benarnya juga. Aku bertekad untuk ke museum besok. Dan
rasanya, tugas dan hari itu tak ada habisnya.
Guntur
menyambar nyambar, suasana museum yang gelap membuatku sedikit takut, Ibu
melarangku untuk pergi ke museum, menyebalkan ! Ibu membuatkan ku tumis daun
sintetis, rasanya sama sekali tak enak, “makanlah, hanya ini yang tersisa dari
Bumi “ ujar Ibu, tersenyum getir. Yeah, aku mengerti Bu. Balasku dalam hati. Aku
meneguk setetes air bersih. “Hanna, jangan pergike sekolah, sekolah di liburkan
“ ujar ibu dengan air mata yang menetes. Aku menoleh, “Ada apa !” seruku.
“Kutub meleleh, kita harus cepat cepat berbenah “ ujar Ayah tegas. Aku
memasukan semua barang ke dalam kardus dan membawanya keluar, “Kita akan pindah
ke bulan “ ujar Ayah. Aneh, batinku. Aku duduk di penggir mobil, kedua kakakku
tampak cemas, Sebuah roket mengantarkan kami ke bulan. Tiba tiba…dari kejauhan
Bumi meledak ! dengan air yang meluap dari samudra pasifik, meluluh lantahkan
bumi dan seisinya, Bumi retak seketika, lempengan bumi bergerak semaunya, aku
terus berdoa, hawa makin panas, lalu dingin, amat dingin, langit terbelah,
membukakan pintu bagi ratusan meteor, dalam kegentingan itu aku memejamkan
mata, Saat membukanya, aku sedang berada di sebuah ruangan putih bersih, sebuah
selang tertancap di tanganku, “Apakah ini surga “ gumamku. Aku menangis tersedu
sedu, kanapa umurku begitu singkaaat….? Seorang pria tinggi menggunakan jas
mendekatiku, “apakah kau sudah baikan ?” tanyanya, “Apakah anda adalah malaikat
yang diutus sang maha kuasa untuk mengntarku ke surge ?” ceracauku. Pria itu
memegang keningku, sangat dingin. “Kau mimpi,” ujarnya tertawa, aku mengerutkan
kening. “bukankah bumi sudah kiamat ?” ujarku lagi, “tidak, kau hanya mimpi,
kemarin kau di bawa kesini dengan diagnosa bahwa kau menderita salah satu
syndrome, lalu kau mulai menceracau sehingga aku memberikanmu obat penenang…”
aku sudah tak dapat berkata kata lagi, terimakasih Ya Allah…engkau masih member
kami kesempatan, kulirik jendela, tampak pohon meranti yang sedang berdiri
tegak, tersenyum padaku. Aku balas tersenyum lepas bahagia.
Nab, katanya cerpen, kok panjang banget sih ?
Hahaha... ya ginilah, sekalinya dapet ide aja, susah di stop :P
Gimana guys, bagus enggak ?
Commentnya dong... ^^
Label: Cerpen
|
Meet The Owner
I'am just a normal girl like other
Name : Nabila Hanna
Born on : Bantul, 25 August 2003
Religion : Islamic
Hobby : Camping, Plant Tree, etc
Ambition : Activist, Ambassador, etc
I love
♥ Plant Tree
♥ Camping
♥ Green Places
♥ Ocean
♥ Animal
♥ Fresh Air
I Hate
✖ CopyCat
✖ Back Stabbers
✖ Slow Internet Connection
✖ Animal Hunter
✖ Make up
✖ Dying Animal
✖ Deforestation
About this blog
Blog ini adalah blog keduaku. Jangan upa kunjungi website pertama ku ya di nabila-hanna.blogspot.com. Blog itu memang aku fokuskan sebagai Tutorial Blog. Sementara blog ini kubuat untuk mempost hal hal yang berkaitan dengan alam, dan bumi. Jadi jangan harap aku nge-post tutorial nge-blog disini yah.. ^^
Read this rules first
Do Comment After Read
If you like the articels, then share it
But dont forget the credits
I dont write tutorial blog in here
Enjoy... ^^
Craft or Save The Earth
Blog Tutorial...
Craft
Cherry Bllossom Stempel
Strawberry Box
option
option
option
option
option
option
Hai....
Setelah kena writer's block selama beberapa hari, Nabila berhasil menyelesaikan
cerpen terbaru Nabila
*Yeay.... :D
Judul : 290
Cerpen ini menceritakan kondisi bumi di tahun 2090 yang rusak. Jika kita terus menerus melakukan kerusakan pada bumi, bisa bisa......
Ah udah deh, baca aja ya... ^^
Aku membuka
buku digital dihadapan ku. Aku menoleh ke ventilasi kecil di dinding. “Apa yang
kau tunggu ? bacalah !” kata kata itu mengejutkan ku. Aku cepat cepat membaca
buku referensi itu. Ruangan sempit ini adalah kelasku. Perlu kujelaskan kawan,
sejak kondisi alam mulai kritis, semua menjadi indoor . Aku jarang bertemu
kawan kawan sekolahku. Kami ‘di kurung ‘ di ruangan sempit ini. Didalamnya, ada
sebuah computer dan layar yang membuat guru kelasku dapat mengawasiku. Juga
beberapa alat bantu pernafasan. Di zaman seperti ini, sulit sekali mendapatkan
udara bersih. Adapun itu amat mahal. Awan gelap kelabu menurunkan hujan coklat,
suaranya bergemuruh di atap. Mengganggu konsentrasiku. Hujan asam seringkali
terjadi. Beberapa sungai airnya menyusut. Polusi udara menyebar. Wabah Kolera,
Diare, dan sebagainya mewabah dimana mana. Mengerikan ? Aku melalui nya setiap
hari dalam hidupku, Tak asing lagi bagi tubuhku, Kehidupan ini seakan selalu
mengalir begitu saja . Sesekali, kutatap wajah Miss Irine di layar, sinar
matanya meredup. Selesai membaca buku referensi itu, aku beranjak pulang.
Melewati lorong lorong gelap yang dibanjiri dengan air dari hujan asam. Aku
tinggal di salah satu rumah sehat yang tersisa. Rumah sempit bersekat lima,
berjendela delapan, berpintu dua dan berhalaman 4 kali 4. Begitu saja, dengan
ruang tamu yang digabung dengan ruangan keluarga jadilah rumah sehat masa kini.
Namun yang menjadi masalah, semua rumah sehat sekarang tidak memiliki pasokan
air bersih sama sekali. Sayuran, daging dan bahan makanan lainya amat langka.
Aku memperepat langkahku di antara derap hujan asam. Payung yang ku gunakan
sebentar lagi tak akan mampu melindungiku. Sesampainya di rumah, senyap
menyertaiku. Ibu masih memasak dan Ayah berkerja, kedua kakak ku masih menjejali
tahun pertama di perguruan tinggi. Mempelajari hewan hewan purba, masalahnya,
saat ini, hampir semua hewan telah punah.Ibu menyeringai tipis melihat wajah
kusutku. “Sudah pulang ? ambilah jatah makan mu hari ini, di almari ada
sesendok air bersih “ ujar Ibu sambil membenarkan celemek yang beliau gunakan.
Aku melangkah dingin. Mengambil makanan kaleng yang entah dari apa. Lalu
menikmati acara televisi yang pernah ku tonton beratus ratus kali. Membosankan memang, tapi setidaknya televise
tua itu menyelamatkan ku dari kebosanan.Dua jam, tiga jam waktu berlalu. Hujan
berangsur angsur berhenti. Awan memang masih gelap kelabu. Namun setidaknya
hujan asam itu telah berhenti.Aku meminum sesendok air bersih yang diletakan
ibu di gelas. Sesendok saja, dan aku akan merasa baikan.Aku melirik ke jendela
kaca yang tertutup rapat, sesekali Ayah mengganti jendela itu dengan yang baru.
Aku menyandarkan bahu ke sofa. Pintu terbuka, muncul wajah suram kedua kakak
ku. Mereka telat pulang karena terjebak dalam hujan asam. Ibu selalu melarang
kami melewati hujan asam tanpa pelindung. Aku membuka pintu kamar kami yang
dijadikan satu. Karena keempat ruangan lainya digunakan untuk dapur, kamar
mandi, ruang keluarga dan ruang kerja ayah. Tempat berbagai macam alat yang
para ilmuan gunakan. Kamar yang berisi sebuah kasur besar, sebuah almari baju,
meja gosokan dan meja belajar. Kubuka buku digital yang kupinjam dari sekolah.
“Hanna, oh disitulah kamu, ayo, makan malam siap “ ujar Ibu lembut. Malam
menjelang. Lampu menerangi tempat aku, dan kedua kakakku belajar. Aku belajar
di kasur sedang mereka belajar di lantai. Angin membuka jendela kamar. Aku
menutupnya. Di luar, hujan turun deras sekali. Ayah pergi ke ruang kerja dan
Ibu menemani kami belajar. Aku meluruskan kaki, waktu belajar telah habis. Aku
membenarkan bantal, lalu segera tidur, sebelum insomnia akut-ku kambuh.
Hari hari
berlalu dengan cepat, tak terasa, aku telah lulus dari sekolah dasar. Dunia pun
makin kelam. Hujan asam, makin sering mengguyur. Air bersih semakin langka dan
jiwaku makin terganggu. Mala mini, kami berkumpul di ruang makan, menikmati sup
berisi sebuah seledri dan empat bawang hmm, begitu enak. Ibu menatapku yang
dengan cepat menghabiskan makan malam. Beliau menghela nafas, selesai makan,
aku cepat cepta tidur dan menunggu hari pagi. Sinar matahari menyusup masuk
sedikit diantara awan hitam yang menggumpal. Aku memandang ke jendela dengan
hati hati, agar semua tak bangun. Aku memandang sekeliling. Suasana begitu
pengap, sekalipun ini pagi. Asap kendaraan dan pabrik mengepul ngepul bersamaan
dengan aroma yang menyengat. Kulihat Ibu
tak ada, pasti beliau sedang menyiapkan makan. Aku mengikat piyama dan berjalan
ke dapur. “Apa menu hari ini ?” tanyaku tak sabar, Namun ku melihat ibu
memasukan bahan bahan sup dengan sedih. “Sintetis “ gumamnya. Aku menghela
nafas panjang, rasanya kemarin aku baru saja menikmati seledri. “Kini sayuran
betul betul langka Han, “ kata Ibu. Aku mengamati asap yang mengepul dari
kompor listrik. Sama kelamnya dengan langit. Petir menyambar, aku terkejut dan
melihat apa yang terjadi. Hujan asam, itu biasa namun aku tak menyukainya.
Cepat cepat kubangunkan kedua kakakku dan mengajak mereka ke ambang jendela.
“Ya ampun, “ gumamku. Ayah berdiri di belakang kami, beliau tampak berpikir,
tapi sesaat kemudian ayah berlari ke ruang kerja nya. Aku duduk di sofa
menunggu makan pagi. Kejadian pagi ini memang terlalu dini, seperti apa yang
terjadi pada dunia. Tikus tikus menceriit. Aku tak percaya mereka masih ada.
Kedua kakakku bermain catur di meja makan. Sesekali petir berbunyi. Namun aku
tak peduli. Lagipula kami aman di sini. Ibu membawa sup sintetis yang berbau
menyengat. “Makanlah, hanya ini yang tersisa “ kata Ibu sambil tersenyum getir.
Kritis, semua kritis, pasukan air bersih, makanan sehat, udara bersih dan
barang barang pokok lainya. TV kunyalakan, walaupun acaranya hanya itu itu
saja. Aku mendesah bosan. Hujan berangsur reda. Aku memakai sepatu boot ku dan
berjalan keluar. Mencari cari sisa rerumputan, tapi tak ada, gersang, gersang
se gersangnya. Hanya jalan raya yang sudah lama tak digunakan. Harusnya lahan
itu dibuat penangkaran tanaman atau hewan. Kulangkahkan kaki ke perpustakaan
kota. Mencari buku yang berisi jenis jenis bunga, aku terkesiama. Betapa
indahnya kehidupan dulu, bulan bersinar terang, burung berkicau. Sekarang ?
bahkan matahari tak mampu menembus awan hitam. Jane, penjaga perpustakaan
mendekatiku. Aku segera bertanya “ Apakah masih ada buku seperti ini ?” Jane
menghela nafas. “Maaf Hanna, tapi hanya
itu yang tersisa. Pihak museum telah mengambil buku buku tentang bunga bunga
itu “ tutur Jane. Aku mengangguk mengerti lalu pergi ke sekolah. Memasukan
kartu ke dalam ruangan dan masuk ke dalamnya. Aku menghirup, oksigen sedalam
mungkin. Miss Erna duduk di hadapanku. Beliau membawa setumpuk tugas. Aku
mengerjakannya dengan sedikit malas. Mengingat pihak museum telah mengambil
buku buku itu. Namun ada benarnya juga. Aku bertekad untuk ke museum besok. Dan
rasanya, tugas dan hari itu tak ada habisnya.
Guntur
menyambar nyambar, suasana museum yang gelap membuatku sedikit takut, Ibu
melarangku untuk pergi ke museum, menyebalkan ! Ibu membuatkan ku tumis daun
sintetis, rasanya sama sekali tak enak, “makanlah, hanya ini yang tersisa dari
Bumi “ ujar Ibu, tersenyum getir. Yeah, aku mengerti Bu. Balasku dalam hati. Aku
meneguk setetes air bersih. “Hanna, jangan pergike sekolah, sekolah di liburkan
“ ujar ibu dengan air mata yang menetes. Aku menoleh, “Ada apa !” seruku.
“Kutub meleleh, kita harus cepat cepat berbenah “ ujar Ayah tegas. Aku
memasukan semua barang ke dalam kardus dan membawanya keluar, “Kita akan pindah
ke bulan “ ujar Ayah. Aneh, batinku. Aku duduk di penggir mobil, kedua kakakku
tampak cemas, Sebuah roket mengantarkan kami ke bulan. Tiba tiba…dari kejauhan
Bumi meledak ! dengan air yang meluap dari samudra pasifik, meluluh lantahkan
bumi dan seisinya, Bumi retak seketika, lempengan bumi bergerak semaunya, aku
terus berdoa, hawa makin panas, lalu dingin, amat dingin, langit terbelah,
membukakan pintu bagi ratusan meteor, dalam kegentingan itu aku memejamkan
mata, Saat membukanya, aku sedang berada di sebuah ruangan putih bersih, sebuah
selang tertancap di tanganku, “Apakah ini surga “ gumamku. Aku menangis tersedu
sedu, kanapa umurku begitu singkaaat….? Seorang pria tinggi menggunakan jas
mendekatiku, “apakah kau sudah baikan ?” tanyanya, “Apakah anda adalah malaikat
yang diutus sang maha kuasa untuk mengntarku ke surge ?” ceracauku. Pria itu
memegang keningku, sangat dingin. “Kau mimpi,” ujarnya tertawa, aku mengerutkan
kening. “bukankah bumi sudah kiamat ?” ujarku lagi, “tidak, kau hanya mimpi,
kemarin kau di bawa kesini dengan diagnosa bahwa kau menderita salah satu
syndrome, lalu kau mulai menceracau sehingga aku memberikanmu obat penenang…”
aku sudah tak dapat berkata kata lagi, terimakasih Ya Allah…engkau masih member
kami kesempatan, kulirik jendela, tampak pohon meranti yang sedang berdiri
tegak, tersenyum padaku. Aku balas tersenyum lepas bahagia.
Nab, katanya cerpen, kok panjang banget sih ?
Hahaha... ya ginilah, sekalinya dapet ide aja, susah di stop :P
Gimana guys, bagus enggak ?
Commentnya dong... ^^
Label: Cerpen
|
0 Komentar available :
Posting Komentar
Give your comment after reading... ^^