Nature friend ♥

Follow|Home
Kamis, 24 Maret 2016 | 01.35 | 0 comments
Hai....
Setelah kena writer's block selama beberapa hari, Nabila berhasil menyelesaikan
cerpen terbaru Nabila
*Yeay.... :D

Judul : 290
Cerpen ini menceritakan kondisi bumi di tahun 2090 yang rusak. Jika kita terus menerus melakukan kerusakan pada bumi, bisa bisa......
Ah udah deh, baca aja ya... ^^

Aku membuka buku digital dihadapan ku. Aku menoleh ke ventilasi kecil di dinding. “Apa yang kau tunggu ? bacalah !” kata kata itu mengejutkan ku. Aku cepat cepat membaca buku referensi itu. Ruangan sempit ini adalah kelasku. Perlu kujelaskan kawan, sejak kondisi alam mulai kritis, semua menjadi indoor . Aku jarang bertemu kawan kawan sekolahku. Kami ‘di kurung ‘ di ruangan sempit ini. Didalamnya, ada sebuah computer dan layar yang membuat guru kelasku dapat mengawasiku. Juga beberapa alat bantu pernafasan. Di zaman seperti ini, sulit sekali mendapatkan udara bersih. Adapun itu amat mahal. Awan gelap kelabu menurunkan hujan coklat, suaranya bergemuruh di atap. Mengganggu konsentrasiku. Hujan asam seringkali terjadi. Beberapa sungai airnya menyusut. Polusi udara menyebar. Wabah Kolera, Diare, dan sebagainya mewabah dimana mana. Mengerikan ? Aku melalui nya setiap hari dalam hidupku, Tak asing lagi bagi tubuhku, Kehidupan ini seakan selalu mengalir begitu saja . Sesekali, kutatap wajah Miss Irine di layar, sinar matanya meredup. Selesai membaca buku referensi itu, aku beranjak pulang. Melewati lorong lorong gelap yang dibanjiri dengan air dari hujan asam. Aku tinggal di salah satu rumah sehat yang tersisa. Rumah sempit bersekat lima, berjendela delapan, berpintu dua dan berhalaman 4 kali 4. Begitu saja, dengan ruang tamu yang digabung dengan ruangan keluarga jadilah rumah sehat masa kini. Namun yang menjadi masalah, semua rumah sehat sekarang tidak memiliki pasokan air bersih sama sekali. Sayuran, daging dan bahan makanan lainya amat langka. Aku memperepat langkahku di antara derap hujan asam. Payung yang ku gunakan sebentar lagi tak akan mampu melindungiku. Sesampainya di rumah, senyap menyertaiku. Ibu masih memasak dan Ayah berkerja, kedua kakak ku masih menjejali tahun pertama di perguruan tinggi. Mempelajari hewan hewan purba, masalahnya, saat ini, hampir semua hewan telah punah.Ibu menyeringai tipis melihat wajah kusutku. “Sudah pulang ? ambilah jatah makan mu hari ini, di almari ada sesendok air bersih “ ujar Ibu sambil membenarkan celemek yang beliau gunakan. Aku melangkah dingin. Mengambil makanan kaleng yang entah dari apa. Lalu menikmati acara televisi yang pernah ku tonton beratus ratus kali.  Membosankan memang, tapi setidaknya televise tua itu menyelamatkan ku dari kebosanan.Dua jam, tiga jam waktu berlalu. Hujan berangsur angsur berhenti. Awan memang masih gelap kelabu. Namun setidaknya hujan asam itu telah berhenti.Aku meminum sesendok air bersih yang diletakan ibu di gelas. Sesendok saja, dan aku akan merasa baikan.Aku melirik ke jendela kaca yang tertutup rapat, sesekali Ayah mengganti jendela itu dengan yang baru. Aku menyandarkan bahu ke sofa. Pintu terbuka, muncul wajah suram kedua kakak ku. Mereka telat pulang karena terjebak dalam hujan asam. Ibu selalu melarang kami melewati hujan asam tanpa pelindung. Aku membuka pintu kamar kami yang dijadikan satu. Karena keempat ruangan lainya digunakan untuk dapur, kamar mandi, ruang keluarga dan ruang kerja ayah. Tempat berbagai macam alat yang para ilmuan gunakan. Kamar yang berisi sebuah kasur besar, sebuah almari baju, meja gosokan dan meja belajar. Kubuka buku digital yang kupinjam dari sekolah. “Hanna, oh disitulah kamu, ayo, makan malam siap “ ujar Ibu lembut. Malam menjelang. Lampu menerangi tempat aku, dan kedua kakakku belajar. Aku belajar di kasur sedang mereka belajar di lantai. Angin membuka jendela kamar. Aku menutupnya. Di luar, hujan turun deras sekali. Ayah pergi ke ruang kerja dan Ibu menemani kami belajar. Aku meluruskan kaki, waktu belajar telah habis. Aku membenarkan bantal, lalu segera tidur, sebelum insomnia akut-ku kambuh. 

 Hari hari berlalu dengan cepat, tak terasa, aku telah lulus dari sekolah dasar. Dunia pun makin kelam. Hujan asam, makin sering mengguyur. Air bersih semakin langka dan jiwaku makin terganggu. Mala mini, kami berkumpul di ruang makan, menikmati sup berisi sebuah seledri dan empat bawang hmm, begitu enak. Ibu menatapku yang dengan cepat menghabiskan makan malam. Beliau menghela nafas, selesai makan, aku cepat cepta tidur dan menunggu hari pagi. Sinar matahari menyusup masuk sedikit diantara awan hitam yang menggumpal. Aku memandang ke jendela dengan hati hati, agar semua tak bangun. Aku memandang sekeliling. Suasana begitu pengap, sekalipun ini pagi. Asap kendaraan dan pabrik mengepul ngepul bersamaan dengan aroma  yang menyengat. Kulihat Ibu tak ada, pasti beliau sedang menyiapkan makan. Aku mengikat piyama dan berjalan ke dapur. “Apa menu hari ini ?” tanyaku tak sabar, Namun ku melihat ibu memasukan bahan bahan sup dengan sedih. “Sintetis “ gumamnya. Aku menghela nafas panjang, rasanya kemarin aku baru saja menikmati seledri. “Kini sayuran betul betul langka Han, “ kata Ibu. Aku mengamati asap yang mengepul dari kompor listrik. Sama kelamnya dengan langit. Petir menyambar, aku terkejut dan melihat apa yang terjadi. Hujan asam, itu biasa namun aku tak menyukainya. Cepat cepat kubangunkan kedua kakakku dan mengajak mereka ke ambang jendela. “Ya ampun, “ gumamku. Ayah berdiri di belakang kami, beliau tampak berpikir, tapi sesaat kemudian ayah berlari ke ruang kerja nya. Aku duduk di sofa menunggu makan pagi. Kejadian pagi ini memang terlalu dini, seperti apa yang terjadi pada dunia. Tikus tikus menceriit. Aku tak percaya mereka masih ada. Kedua kakakku bermain catur di meja makan. Sesekali petir berbunyi. Namun aku tak peduli. Lagipula kami aman di sini. Ibu membawa sup sintetis yang berbau menyengat. “Makanlah, hanya ini yang tersisa “ kata Ibu sambil tersenyum getir. Kritis, semua kritis, pasukan air bersih, makanan sehat, udara bersih dan barang barang pokok lainya. TV kunyalakan, walaupun acaranya hanya itu itu saja. Aku mendesah bosan. Hujan berangsur reda. Aku memakai sepatu boot ku dan berjalan keluar. Mencari cari sisa rerumputan, tapi tak ada, gersang, gersang se gersangnya. Hanya jalan raya yang sudah lama tak digunakan. Harusnya lahan itu dibuat penangkaran tanaman atau hewan. Kulangkahkan kaki ke perpustakaan kota. Mencari buku yang berisi jenis jenis bunga, aku terkesiama. Betapa indahnya kehidupan dulu, bulan bersinar terang, burung berkicau. Sekarang ? bahkan matahari tak mampu menembus awan hitam. Jane, penjaga perpustakaan mendekatiku. Aku segera bertanya “ Apakah masih ada buku seperti ini ?” Jane menghela nafas. “Maaf  Hanna, tapi hanya itu yang tersisa. Pihak museum telah mengambil buku buku tentang bunga bunga itu “ tutur Jane. Aku mengangguk mengerti lalu pergi ke sekolah. Memasukan kartu ke dalam ruangan dan masuk ke dalamnya. Aku menghirup, oksigen sedalam mungkin. Miss Erna duduk di hadapanku. Beliau membawa setumpuk tugas. Aku mengerjakannya dengan sedikit malas. Mengingat pihak museum telah mengambil buku buku itu. Namun ada benarnya juga. Aku bertekad untuk ke museum besok. Dan rasanya, tugas dan hari itu tak ada habisnya.


                                                        
Guntur menyambar nyambar, suasana museum yang gelap membuatku sedikit takut, Ibu melarangku untuk pergi ke museum, menyebalkan ! Ibu membuatkan ku tumis daun sintetis, rasanya sama sekali tak enak, “makanlah, hanya ini yang tersisa dari Bumi “ ujar Ibu, tersenyum getir. Yeah, aku mengerti Bu. Balasku dalam hati. Aku meneguk setetes air bersih. “Hanna, jangan pergike sekolah, sekolah di liburkan “ ujar ibu dengan air mata yang menetes. Aku menoleh, “Ada apa !” seruku. “Kutub meleleh, kita harus cepat cepat berbenah “ ujar Ayah tegas. Aku memasukan semua barang ke dalam kardus dan membawanya keluar, “Kita akan pindah ke bulan “ ujar Ayah. Aneh, batinku. Aku duduk di penggir mobil, kedua kakakku tampak cemas, Sebuah roket mengantarkan kami ke bulan. Tiba tiba…dari kejauhan Bumi meledak ! dengan air yang meluap dari samudra pasifik, meluluh lantahkan bumi dan seisinya, Bumi retak seketika, lempengan bumi bergerak semaunya, aku terus berdoa, hawa makin panas, lalu dingin, amat dingin, langit terbelah, membukakan pintu bagi ratusan meteor, dalam kegentingan itu aku memejamkan mata, Saat membukanya, aku sedang berada di sebuah ruangan putih bersih, sebuah selang tertancap di tanganku, “Apakah ini surga “ gumamku. Aku menangis tersedu sedu, kanapa umurku begitu singkaaat….? Seorang pria tinggi menggunakan jas mendekatiku, “apakah kau sudah baikan ?” tanyanya, “Apakah anda adalah malaikat yang diutus sang maha kuasa untuk mengntarku ke surge ?” ceracauku. Pria itu memegang keningku, sangat dingin. “Kau mimpi,” ujarnya tertawa, aku mengerutkan kening. “bukankah bumi sudah kiamat ?” ujarku lagi, “tidak, kau hanya mimpi, kemarin kau di bawa kesini dengan diagnosa bahwa kau menderita salah satu syndrome, lalu kau mulai menceracau sehingga aku memberikanmu obat penenang…” aku sudah tak dapat berkata kata lagi, terimakasih Ya Allah…engkau masih member kami kesempatan, kulirik jendela, tampak pohon meranti yang sedang berdiri tegak, tersenyum padaku. Aku balas tersenyum lepas bahagia.

Nab, katanya cerpen, kok panjang banget sih ?
Hahaha... ya ginilah, sekalinya dapet ide aja, susah di stop :P
Gimana guys, bagus enggak ?
Commentnya dong... ^^


Label:



0 Komentar available :

Posting Komentar

Give your comment after reading... ^^